Kamis, 25 Februari 2010

Asseb-Khotbah Nehemia 9:26-31, Minggu 28 Februari 2010

Thema:
Jika kita mengaku dosa,
kita boleh berharap dan menerima kasih karunia Allah
(Akukenlah dosanta, arapken ras aloken perkuah ateNa)
Intoitus : Ulangan 4:31; Pembacaan : Lukas 7: 36-50
Khotbah : Nehemia 9:26-31
Pendahuluan
Alkitab menyaksikan bahwa Allah bukan saja Maha Kuasa, Maha Kudus, Maha Adil, Maha pengasih dan penyayang, dsb, tetapi juga Maha pengampun. Itulah diri Allah. Namun Maha Pengampun yang dimaksud bukan berarti Allah membiarkan begitu saja dosa. Tidak. Sebab keadilan Allah menuntutnya tidak demikian. Setiap pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah (setiap dosa) harus dihukum. Tidak terkecuali umatnya, bangsa Israel. Namun satu hal yang juga pasti ialah bahwa Allah akan mengampuni dosa dan kesalahan umatNya jikalau mengaku dosa dan berbalik kepadaNya[1].

Pendalaman Nas
Nas renungan kita Minggu ini dari Nehemia 9:26-31. Nas ini dibawah judul perikop “Pengakuan dosa dan permintaan doa”. Kalau kita membaca mulai dari ayat 1 disana disebutkan bahwa pengakuan dosa dan permintaan doa ini dilakukan pada hari yang kedua puluh empat bulan dan ini dilakukan secara nasional. Maksud pertemuan ini sudah pasti dalam rangka pemulihan rohani umat yang baru kembali dari pembuangan Babel. Setelah Taurat dibacakan selama 3 jam dan mengucapkan pengakuan dan menyembah Allah juga selama 3 jam, mulailah berkata-kata (berkhotbah) Yesua, Kadmiel, Bani, Hasabneya, Serebya, Hodia, Sebanya dan Petahya, orang-orang Lewi. Inti dari khotbah ini mengemukakan tentang tiga hal:

Pertama bahwa Allah yang mereka sembah adalah (1) Allah yang menciptakan langit dan bumi, Allah yang memilih nenek moyang mereka Abraham dan mengikat perjanjian dengannya; (2) Allah yang telah memperlihatkan kebesaran dan kuasanya dihadapan firaun dengan tanda-tanda dan mujizat, dan membebaskan mereka dari perbuadakan Mesir; (3) Allah yang telah membelah laut sehingga nenek moyang mereka dapat menyeberang melalui tempat yang kering dan mencampakkan pengejar-pengejar mereka ketengah laut; (4) Allah yang memimpin umatNya dengan tiang awan pada siang hari dan tiang api pada waktu malam dalam perjalanan menuju tanah kanaan; (5) Allah yang telah memberikan hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan yang baik pada waktu di gunung Sinai; (6) Allah yang memenuhi kebutuhan mereka dalam perjalanan menuju ke tanah kanaan; (7) Allah yang telah memberikan tanah kanaan kepada mereka.

Kedua, bahwa nenek moyang mereka dan mereka sendiri sering berbuat dosa yakni tidak patuh kepada perintah-perintah Tuhan, mereka mendurhaka dan memberontak terhadap Tuhan, mereka berbuat nista yang besar. Akibatnya sangat jelas, Allah menghukum mereka. Dalam ayat 27 disebutkan Allah menyerahkan mereka ke tangan lawan-lawan mereka dan menyesah mereka. Demikian juga dipahami bahwa pembuangan ke Babel yang mereka telah alami tidak lain karena keberdosaan mereka terhadap Allah yang tidak mau mendengar dan patuh terhadap peringatan-peringatan yang disampaikan Allah melalui nabi-nabiNya. Disini sangat jelas disebutkan sebab akibat. Akibat tidak patuh terhadap perintah Tuhan umat Israel dihukum dan sebaliknya akan disertai dan diberkati. Jadi jelas konsekwensi sebagai umat Allah tidak ada lagi pilihan selain patuh dan setia, sebab jika tidak demikian maka hukuman akan dijatuhkan kepadanya. Mau pilih yang mana? Memang memilih patuh dan setia terhadap jalan-jalan Tuhan bukan berarti hidup tanpa masalah. Sebab Allah tidak pernah menjanjikan bahwa apa bila kita percaya kepadanya, hidup setia dan patuh terhadap Firmannya tidak lagi ada masalah dalam hidup. Tidak. Allah hanya menjanjikan akan menyertai, memberi kekuatan serta jalan keluar[2]. Oleh karena itu janganlah lekas-lekas bersungut-sunggut apa bila kita sedang mengalami masalah, tetapi tetaplah setia.

Ketiga, bahwa Allah itu Maha Pengampun, pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia[3]. Disebutkan dalam nas renungan kita tentang sifat Allah ini. Allah tetap membuka diri memberikan pengampunan serta pertolongan ketika mereka menyesali dosa dan berseru dengan sungguh-sungguh memohon pertolongan. Semua ini disebabkan karena pada dirinya Allah tidak bisa menyangkal diriNya sebagai yang penuh kasih. Kasih Allah tidak berkesudahan sebab Allah adalah kasih[4]. Dengan kasih Allah dapat bersabar terhadap umatNya yang keras kepala dan pembrontak, dengan kasih Allah tetap setia[5] walaupun umatnya sering tidak setia, dengan kasih Allah tetap menyayangi umatnya dan mengampuni keselahan mereka. Namun harus ditambahkan jikalau umatNya (jikalau kita manusia) mau mengaku dosa dan berbalik kepadaNya. Dan kasih Allah yang spektakuler telah dinyatakan melalui kematian Yesus di kayu salib demi memberi jalan pengampunan bagi manusia yang telah berdosa. Banyak orang tidak tahu bahwa inilah konsistensi Allah terhadap keadilanNya. Bukankah Allah telah menjatuhkan ponis bahwa upah dosa adalah maut? Bukankah semua orang telah berdosa?[6] Dan itu berarti akhir kehidupan semua manusia sudah jelas yakni berakhir pada kemaatian kekal. Namun di dalam Yesus Kristus Allah mengambil alih hukuman dosa yang seharusnya dijatuhkan atau ditanggung oleh manusia. Dengan kata lain Allah telah menghukum dosa-dosa manusia di dalam Yesus Kristus. Hal inilah yang dikemukakan Paulus dalam Roma 3:23-26[7]. Dan barang siapa percaya kepadaNya[8] (Yesus Kristus) telah mendapat pengampunan dosa (Kis.rasul 10:43), tidak di hukum (Yohanes 3:18), beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:36; 6:47; 11:25).
Pointer Aplikasi
(1) Semua manusia mewarisi natur dosa Adam dan Hawa[9]. Dan karena itu tidak heran jikalau umat Allah sendiri sering kali melakukan hal yang berdosa dihadapan Allah. Mereka sering tidak setia dan patuh kepada Allah. Allah menyebut mereka sebagai yang keras kepala (tegar tengkuk), pembrontak, dll. Bagaimana dengan kita yang adalah juga umat Allah?[10] Apakah kita juga selalu berbuat dosa? Memang benar Allah Maha Pengampun namun kita harus ingat bahwa batas kesabaran Allah sudah ditetapkan yakni sebatas kita masih hidup. Dan kita tahu bahwa tak seorangpun tahu kapan hidup kita berakhir di dunia ini. Mungkin hari ini, mungkin besok atau lusa, atau minggu ini atau menggu depan, atau bulan ini atau bulan depan, atau tahun ini atau tahun depan dan seterusnya. Artinya janganlah kesempatan yang diberikan Tuhan kita sia-siakan. Berobatlah dan hiduplah dalam pertobatan. Artinya janganlah hanya bertobat dengan kata-kata atau pernyataan, tetapi juga dalam pikiran dan perbuatan. Itulah makna yang dikemukakan Yesus ketika ia mengatakan “dosamu telah diampuni dan jangan berbuat dosa lagi”[11].
(2) Pentingna pengampunan dosa juga disebutkan dalam Doa yang diajarkan Tuhan Yesus. “Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kam”[12]. Tanda pengampunan dosa yang telah kita terima dibuktikan dalam sikap hidup yang juga mengikut teladan Tuhan Yesus sepeti mengampuni, mengasihi dan berbuat baik bagi semua orang. Tanpa implikasi demikian menunjukkan bahwa kita belum sungguh-sungguh menyesal akan dosa kita dan berarti juga belum sungguh-sungguh bertobat. Dalam Pembacaan kita disebutkan bahwa tanda pengampunan dosa adalah banyak berbuat kasih[13]. Oleh karena itu walaupun setiap minggu kita bersama-sama mengucapkan pengakuan dosa, itu tidak berarti apa-apa jikalau kita tidak sungguh-sungguh hidup sebagai anak-anak Allah, hidup saling mengasihi dan mengampuni.

Pondok Gede, 25 Februari 2010
Pdt.S.Brahmana
------------------------------------
[1] 1 Yohanes 1:9; bd. Yesaya 1:18
[2] Bd.1 Korintus 10:13
[3] Ayat 17, 27, 28, 31, bd. Ulangan 4:31 (introitus).
[4] 1 Yohanes 4:8, 16
[5] Bd. 2 Timotius 2:13
[6] Dan keberdosaan manusia tidak saja pada saat sudah dewasa, tapi sejak dalam kandunganpun manusia telah berdosa (Mazmur 51:7).
[7] Bd. 1 Korintus 15:3
[8] Percaya kepadaNya (kepada Yesus) berarti mengakui keberdosaan, kasih dan pengorbanan yang telah Allah lakukan di dalam Yesus Kristus sebagai jalan pembenaran kita di hadapan Allah sehingga kita boleh mendapat pengampunan dosa, tidak dihukum dan beroleh hidup yang kekal.
[9] Bd. 1 Korintus 15:21-22
[10] Bd.1 Petrus 2:9
[11] Yohanes 5:14; Yohanes 8:11
[12] Matius 6:12
[13] Lukas 7:36-50

Senin, 22 Februari 2010

Asseb-Khotbah 1 Timotius 6:11-16, Minggu 21 Februari 2010

THEMA:
BERTANDINGLAH DALAM PERTANDINGAN IMAN
(Erlumbalah ngelakoken singena ate Dibata)
Introitus : Ayub 14:15; Pembacaan : Jeremia 10:6-10
Khotbah: 1 Timotius 6:11-16
Pendahuluan
Walaupun nasehat Paulus dalam nas kita ditujukan kepada Timotius tetapi nasehat ini secara umum juga berlaku kepada semua orang kristen. Istilah “manusia Allah” memang ditujukan kepada Timotius yang dipanggil sebagai hamba Tuhan[1], tetapi istilah ini dalam 2 Timotius 3:17 juga dipakai untuk semua orang kristen[2]. Jadi berlaku bagi semua orang percaya.

Pendalaman Nas
Perikop renungan kita adalah bagian surat penggembalaan Paulus kepada Timotius. Ada beberapa hal yang dikemukakan Paulus, dan kita akan mendalami mengenai dua hal. Pertama, agar Timotius sebagai manusia Allah (manusia milik Allah) menjauhi (1) praktek kejahatan dari guru-guru sesat sebagaimana disebutkan dalam ayat 4 dan 5, yakni sok tahu (Karo: petua-tuaken), suka mencari-cari kealahan dan berdebat (Karo: sura-surana la mehuli ras nggit sisimbaken). (2) cinta uang yang disebutkan dalam ayat 6-10. Ke dua hal ini sangat membahayakan kehidupan iman dan persekutuan.

Paulus mengatakan bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang. Mengapa Paulus memberikan statemen demikian? Karena Paulus sangat paham bagaimana hidup orang yang cinta akan uang. Orang yang cinta uang tidak akan dapat sungguh-sungguh mengasihi Allah. Siapa pun dia. Memang hal ini benar. Kita ambil contoh Yudas Iskariot[3], demi uang 30 keping perak tega mengkhianati gurunya, Yesus. Demikian juga mengapa orang kaya yang disebut dalam Lukas 16:19-31 ketika mati tidak masuk ke dalam kerajaan Allah. Bukan karena ia kaya. Tetapi karena ia tidak mau tahu terhadap orang lain. Ia tidak peduli ada orang lain yang sangat miskin yang membutuhkan pertolongannya. Kekayaan mudah membuat orang sombong dan melupakan bahwa dirinya adalah milik Tuhan. Demikian juga orang kaya yang disebutkan dalam Lukas 12:13-21, Yesus menyebutnya “bodoh” karena ia lupa bahwa hidup matinya ada ditangan Tuhan. Dan ketika Tuhan menetapkan kematian, kekayaan yang dimiliki tidak akan dapat berbuat apa-apa. Demikian juga setiap orang kristen yang cinta uang lebih dari Tuhan tidak akan dapat dengan sungguh-sungguh hidup sebagai anak-anak Tuhan, yang taat beribadah dan memuji-muji Tuhan. Berarti tidak akan pernah dapat mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh[4]. Sebab segala sesuatu diukur dengan materi. Mengikuti kegiatan gereja tidak lagi menggembirakan hatinya karena dianggap sebagai kerugian semata-mata, baik waktu maupun materi. Itulah gejala umum dalam kehidupan kita saat ini, ketika kehidupan telah dikuasai roh materialisme. Oleh karena itu Paulus mengingatkan Timotius dan juga semua orang percaya agar menjauhi semua itu, sebaliknya sebagai manusia Allah agar “mengejar” (Karo: usahakenlah) untuk hidup dalam: (1) keadilan (Karo: singena ate Dibata). Berarti berusaha untuk melakukan kehendak dan perintah-perintah Tuhan; (2) ibadah. Salah satu hidup yang berkenan kepada Allah ialah hidup yang merupakan penghayatan iman dalam kata-kata dan perbuatan[5]; Dalam Roma 12:1 Paulus mengatakan bahwa ibadah yang sejati ialah mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup. Jadi ibadah yang dimaksud bukan saja sekedar bersekutu dalam ibadah formal tetapi juga hidup yang berkenan kepada Allah; (3) kesetiaan. Kesetiaan adalah seseuatu yang sangat dituntut dalam Kerajaan Allah. Siapa yang setia sampai akhirnya akan dikaruniakan mahkota kehidupan (Wahyu [6]. (4) Kasih. Kasih adalah sifat utama dalam penghayatan iman Kristen[7]. Dalam 1 Yohanes 4:8 disebutkan bahwa orang yang tidak mengasihi tidak menegenal Allah. Demikian juga dalam 1 Yohanes 4:16 disebutkan bahwa Allah adalah kasih dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia. (5) Kesabaran (ketekunan). Dalam menjalankan kehidupan sebagai orang percaya dituntut kesabaran atau ketekunan, tidak boleh cepat-cepat putus asa. Dalam berbagai kesempatan Yesus sudah mengingatkan akan konsekwensi menjadi pengikutnya bahwa dunia akan membenci, juga harus memikul salib dan menyangkal diri[8]. Namun sebagaimana Yesus Firmankan bahwa orang yang bertahan sampai kesudahannya akan selamat[9]. (6) Kelembutan. Salah satu tampilan orang kristen haruslah nampak dalam kelembutannya (lemah lembut). Kelembutan bukan dalam arti lemah, tetapi dalam arti bersikap sabar terhadap orang lain dan mengampuni. Ke enam hal inilah antara lain dipahami Paulus yang harusnya ada pada setiap orang kristen, sebab itulah yang menyengkan hati Tuhan kita lakukan.

Kedua, agar Timotius tetap memposisikan diri sebagai orang yang bertanding. “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal”. Paulus memang suka menggunakan ilustrasi-ilustrasi dunia olah raga. Dalam dunia olah raga, apa pun itu untuk dapat menjadi pemenang bukanlah suatu hal yang mudah. Seseorang haruslah melakukan (1) latihan dengan baik, (2) mengikuti aturan pertandingan, (3) tekad untuk menang. Kalau dalam dunia olah raga saja seorang atlit berusaha dengan keras dengan menjalani berbagai-bagai latihan untuk menang/untuk memproleh sabuk atau piala kemenangan yang sifatnya tidak kekal, tentu terlebih lagi setiap orang percaya akan bertanding atau berlumba dengan penuh kesungguhan diikuti latihan yang baik sehingga dapat menang dalam pertandingan iman yang benar[10]. Disadari atau tidak, ketika (semenjak) seseorang menerima Yesus sebagai Juruslamatnya sesungguhnya sudah berada dalam pertandingan. Dalam pertandingan iman hanya ada dua kemungkinan, menang atau kalah (mendapat mahkota hidup kekal atau tidak). Bukan tiga kemungkinan seperti pertandingan tinju atau pertandingan yang lain yakni kalah, menang atau seri. Dengan kata lain tetap setia hidup sebagai anak-anak Allah atau tidak. Hidup dalam pertandingan berarti hidup dalam perjuangan untuk mempertahankan iman kita. Iblis lawan kita tidak menyenangi hal tersebut. Oleh karena itu dengan berbagai upaya ia berusaha agar kita tidak sungguh-sungguh beriman. Bagi iblis tidak masalah orang kristen rajin pergi ke gereja, memberikan persembahan dengan jumlah yang besar, rajin mengikuti PJJ, dsb. asalkan tidak sungguh-sungguh hidup dalam iman yang benar, yakni hidup yang berubah dan berbuah sebagai anak-anak Allah bukan saja di gereja tetapi juga ditempat kerja dan dimana saja.

Kata merebut (ayat 12) , bukan dimaksudkan seolah-olah manusia dapat memperoleh hidup yang kekal dengan usahanya sendiri. Karena itu kata merebut harus dipahami sehubungan dengan kalimat berikutnya “untuk itulah engkau telah dipanggil…” Artinya Tuhanlah dalam anugrahNya memanggil manusia kepada hidup kekal[11] dan memberikan kekuatan untuk memperolehnya[12].

Pointer Aplikasi
(1) Salah satu panggilan kita sebagai orang percaya adalah bertanding atau berlomba[13]. Pemahaman ini sangat penting. Sebab banyak orang yang tidak menyadari bahwa hidupnya adalah pertandingan atau perlumbaan. Contohnya seperti anak-anak balita yang ada dalam perlombaan merangkak. Ketika perlombaan dimulai, ada yang bengong, ada yang merangkak berlawanan arah, ada juga yang menangis. Hal ini terjadi karena mereka tidak menyadari bahwa dirinya sedang ada dalam pertandingan. Karena itulah Paulus mengingatkan Timotius dan juga semua orang percaya agar tetap menyadari dan menempatkan dirinya ibarat sebuah pertandingan.
(2) Dalam pertandingan olah raga setiap atlit mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk memperoleh hadiah kemenangan yang tidak kekal, tentunya setiap orang percaya lebih lagi atau paling tidak mempunyai semangat seperti seorang atlit dalam memperoleh kemenangan. Memang pertarungan kita bukan pertarungan atau pertandingan tinju atau olah raga lain tetapi pertandingan iman dan kita harus bertarung dengan baik bila kita ingin hidup kita selalu berkemenangan. Kita bertanding bukan untuk merebut sabuk atau piala tetapi mempertahankan iman kita. Mengapa? Karena iman yang kita miliki di dalam roh kita dicobai atau ditantang oleh musuh kita yakni si iblis melalui keadaan, situasi dan masalah yang ada di sekeliling kita. Tujuannya adalah supaya iman kita lemah sehingga kita tidak mempercayai bahwa janji-janji Allah itu ”Ya” dan ”Amin.”
(3) Melalui Minggu Pasion ke dua ini, kita juga diingatkan agar tetap setia hidup dalam iman yang banar. Hidup beriman kepada Tuhan Yesus tidak berarti kita sudah steril dari permasalahan hidup. Terkadang iman kita diuji apakah sungguh-sungguh iman yang banar atau tidak. Oleh karena itu kalau saat ini kita mempunyai masalah hidup, apa pun itu, janganlah kita lantas putus asa dan mengatakan bahwa tidak ada rtinya hidup kita yang beriman selama ini. Sebab bisa jadi semakin kita sungguh-sungguh mencari kehendak Tuhan dan melakukan semakin banyak persoalan hidup yang kita hadapi. Bila demikian, ingatlah bahwa Tuhan kita Yesus Kristus telah lebih dahulu mengalaminya dan sampai akhirnya ia tetap Setia dan menjadi pemanang. Kiranya kita juga demikian. Kita dinyatakan sebagai pemenang yang berhak memperoleh mahkota kehidupan kekal.

Pondok Gede, 19 Februari 2010
Pdt.S.Brahmana
-----------------------------
[1] Bdk. Ayat 12, 13. Dan hal ini sesuai dengan pemakaian istilah “hamba Allah” dalam bahasa Ibrani (yang diterjemahkan dalam Kitab Perjanjian Lama Yunani dengan “manusia Allah”) bagi petugs-petugas dalam PL (Bd. Ulangan 33:1; 1 Samuel 9:6; 1 Raja-raja 13:1; 17:18, dsb.).
[2] Bdk. juga dalam 1 Petrus 2:9
[3] Matius 26:14-16
[4] Lukas 16:13
[5] Bd. 1 Timotius 4:7
[6] Wahyu 2:10
[7] Bd.1Timotius 1:5
[8] Yohanes 15:18-19, Lukas 9:23
[9] Matius 10:22; Markus 13:13; Bd. Yakobus 1:2,3 dan 12
[10] Istilah pertandingan Iman yang banar (yang baik) sengaja menjadi penekanan Paulus karena ada perjuangan-perjuangan lain yang tidak baik sebagaimana disebutkan dalam ayat 5.
[11] 1 Korintus 1:9; 1 Tesalonika 2:12
[12] Efesus 3:7, 20; Filipi 4:13; Kolose 1:29
[13] Bd.juga Ibrani 12:1

Jumat, 12 Februari 2010

Asseb-Khotbah 1 Timotius 3:1-7, Minggu 14 Februari 2010

THEMA:
SEORANG PEMIMPIN HARUSLAH TAK BERCACAT DAN DIHORMATI
(Sekalak pemimpin la erpandangen bagepe ihamati)
Introitus : Masmur 91:2; Pembacaan : Keluaran 18:17-23
Khotbah : 1 Timotius 3:1-7
Pendahuluan
Seiring majunya perkembangan jaman, tuntutan terhadap seorang pemimpin juga semakin banyak. Dipahami seorang pemimpin tidak lagi cukup sekedar memiliki latar belakang keturunan ningrat, tokoh, raja-raja, dll. Semakin besar suatu organisasi, semakin banyak tuntutan atau syarat yang ditetapkan. Kita ambil contoh untuk menjadi ketua partai politik tertentu. Kita menemukan banyak syarat yang ditetapkan. Namun kalau diperhatikan syarat-syarat tersebut, kita menemukan bahwa menyangkut ahklak dan moral atau dengan kata lain kepribadian yang baik (tidak tercela) masih tetap dipertahankan[1]. Mungkin itulah sebabnya tes kepemimpinan sekarang tidak hanya menyangkut IQ (kecerdasan Intelektual), tetapi juga tes kecerdasan emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ). Bagaimana dengan kepemimpinan dalam gereja?

Pendalaman Nas
Kalau kita mengacu kepada syarat-syarat yang dikemukakan Paulus dalam perikop renungan kita (1 Timotius 3:1-7) ternyata untuk menjadi penilik (pemimpin) jemaat bukanlah sesuatu yang mudah. Syarat-syarat tersebut mengacu kepada 2 hal:
Pertama, menyangkut pribadi: (1) tak bercacat, (2) dapat menahan diri, (3) bijaksana, (4) sopan, (5) suka memberi tumpangan, (6) cakap mengajar, (7) bukan peminum, (8) bukan pemarah, (9) peramah, (10) pendamai, (11) bukan hamba uang, (12) bukan orang yang baru bertobat, (13) mempunyai nama baik diluar jemaat. Kedua, menyangkut keluarga: (1) istrinya (suaminya) satu, (2) kepala keluarga yang baik, (3) disegani dan dihormati anak-anaknya.

Kalau kita perhatikan syarat-syarat tersebut, ternyata standar utama untuk menjadi pemimpin jemaat terutama bersifat moral dan spiritual (rohani), bukan yang lain. Jadi boleh-boleh saja menambahi syarat-syarat lain seperti prestasi akademis, ketokohan masyarakat/adat, status sosial, namun harus tetap ditempatkan atau dipahami sebagai penunjang bukan hal yang utama. Pastilah Paulus tahu bahwa kemampuan berkhotbah penting sebagai pemimpin gereja, juga seperti kemampuan administratif, tetapi menurut Paulus semua itu tidak akan berpengaruh apa-apa untuk mencapai tujuan kepemimpinan gereja[2] tanpa moral dan spiritual yang baik. Artinya hal yang terutama bagi pemimpin kristen adalah keteladanan (teladan bagi orang percaya). Dalam hal ini yang dimaksud tentulah bukan sekedar hidup baik-baik, tetapi keteladanan hidup tentang ketekunan dalam kesalehan, kesetiaan dan kekudusan dalam menghadapi cobaan, tetap setia kepada Kristus dan InjilNya[3]. Hal ini penting sebab jemaat belajar tentang moral dan kesalehan sejati (spirirual) bukan saja dari Firman Allah, tetapi juga dari contoh pemimpinnya yang hidup menurut standar rasuli. Mengesampingkan prinsip kepemimpinan saleh yang telah menjadi teladan tak bercacat untuk diikuti gereja berarti mengabaikan ajaran Alkitab yang jelas. Seorang pemimpin gereja haruslah orang yang kesetiaannya kepada Kristus dapat diajukan sebagai teladan atau contoh[4].

Demikian juga kepemimpinan orang percaya dalam rumah tangga, pernikahan dan hubungan antar komponen keluarga sangat penting dalam recruitment kepemimpinan gereja. Paulus memahami seorang pemimpin jemaat harus terlebih dahulu teruji kepemimpinannya dalam hal kesetiaan kepada Istri dan keluarganya. Logika yang dikemukakan Paulus jelas, jikalau dalam hal tersebut pun ia gagal, bagaimana ia dapat mengurusi jemaat Allah[5].

Pointer Aplikasi
(1) Di dalam Alkitab kita temukan bahwa pemimpin rohani muncul bukan menurut kemauan atau ambisi pribadi, melainkan karena tindakan Allah yang mempersiapkan, memanggil, menetapkan dan membimbingnya dalam mencapai tujuan-tujuan dari Allah. Kita ambil contoh Musa. Musa dipanggil Allah menjadi pemimpin untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir. Apakah Musa tanpa kekurangan? Musa mempunyai kekurangan. Ia tidak pandai berbicara[6]. Kalau demikian mengapa Musa yang dipilih dan bukan abangnya, Harun yang lebih memenuhi syarat dari segi kepemimpinan? Yang pasti Allah bukan salah pilih. “Tak bercacat” yang dimaksud Paulus bukan menitik beratkan kemampuan memimpin, tapi lebih kepada kehidupan moral dan spiritual. Ilmu kepemimpinan serta strategi bagaimana memimpin dengan baik dapat dipelajari. Dan itulah yang dilakukan Musa. Ia mau mendengar dan belajar dari Jitro, mertuanya mengenai strategi memimpin. Tetapi tidak demikian mengenai kehidupan moral dan spiritual yang berkenan kepada Allah (tak bercacat). Sebagaimana disebutkan dalam Yohanes 15:5, hanya di dalam Dia kita dapat berbuah banyak, sebab di luar Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa. Artinya hanya di dalam Tuhan Yesus dan oleh karena pertolonganNya melalui kuasa Roh Kudus kehidupan moral dan spiritual kita hari lepas hari akan semakin berkenan kepada Allah.
(2) Mengapa seorang pemimpin jemaat harus tak becacat (la erpandangen) dan dihormati? Pertama, karena perkerjaan yang dilakukan seorang pemimpin jemaat/gereja adalah pekerjaan yang indah[7] (pekerjaan yang sangat bergensi dan bernilai tinggi). Tidak tanggung-tanggung pekerjaan yang dipercayakan ialah pekerjaan mengurusi jemaat Allah[8] (tubuh Kristus). Jadi analoginya, semakin tinggi dan bergengsi suatu perusahaan, maka semakin tinggi pula pesyaratan yang ditetapkan bagi pekerjanya. Kedua, karena standar kepemimpinan jemaat terutama bersifat moral dan spiritual. Oleh karena itu keteladanan hidup beriman yang nampak dalam hidup bermoral menjadi penekanan. Itulah sebabnya ada jemaat yang pemimpinnya dari sntadar kepemimpinan umum “tidak hebat” namun ia berhasil memimpin jemaatnya bertumbuh baik secara kuantitas maupun kualitas karena kepemimpinannya diikuti penghayatan dan penerapan kepemimpinan kristen yang meneladani pola kepemimpinan Yesus.
(3) Ada yang mengatakan bahwa kita semua adalah juga pemimpin, paling tidak pemimpin bagi diri sendiri. Sudah kah kita menjadi pemimpin yang tak bercacat? Kalau belum, bagian mana dalam hidup kita yang merupakan cacat dimata Tuhan? Dan sudahkah kita berusaha membenahinya? Janganlah menyerah sebelum berperang. Janganlah kita mengatakan itu sudah sifat saya, itulah kelemahan saya tanpa berusaha dengan sungguh-sungguh merubahnya. Kalau kita baca dalam 1 Petrus 3:13,14 disana disebutkan dalam rangka menantikan langit baru dan bumi baru kita harus berusaha supaya kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapanNya. Ingat, cepat atau lambat kita semua harus menghadap hadirat Tuhan. Oleh karena itu buatlah “program berbenah diri” dengan pimpinan Roh Kudus! Semoga tidak terlambat.
Pondok Gede, 12 Februari 2010
Pdt.S.Brahmana
------------------------------
[1] http://politik.vivanews.com/news/read/
84062-tujuh_syarat_jadi_ketua_umum_golkar. Akses tgl.10 Februari 2010
[2] Bd. Efesus 4:12-15
[3] Bd. 1 Timotius 4:12,15
[4] Bd. 1 Korintus 11:1, Filipi 3:17, 1 Tesalonika 1:6, 2 Tesalonika 3:7,9, 2 Timotius 1:13.
[5] 1 Timotius 3:5
[6] Keluaran 4:10
[7] Ayat 1
[8] Ayat 5

Sabtu, 06 Februari 2010

Asseb-Khotbah Markus 10:35-45, Minggu 07 Februari 2010

THEMA:
PEMIMPIN DARI PERSFEKTIF KRISTEN ADALAH MELAYANI
(Peminpin eme kap si ngelai)
Introitus: Matius 22:14; Pembacan:1 Samuel 8:1-9
Khotbah: Markus 10:35-45
Pendahuluan
Setiap orang kristen seharusnya mengikuti teladan Yesus. Itulah indekator sebagai pengikut Yesus. Demikian juga berbicara mengenai kepemimpinan, maka setiap pemimpin kristen baik di kantor, organiasi, rumah, di gereja harus menerapkan pola kepemimpinan Yesus yakni melayani dan bukan dilayani[1].

Persoalannya ialah, sudahkah setiap pemimpin kristen menerapkan pola kepemimpinan Yesus? Saya teringat dengan Drs.HFB Surbakti (alm), anggota jemaat GBKP Surabaya. Beliau pernah menjadi direktur PTP-21/22 di Jawa Timur. Orangnya tidak banyak bicara namun ia adalah sosok yang menjadi teladan bagi jemaat GBKP Surabaya. Dalam berjemaat, walaupun tidak pernah menjadi Pertua/Diaken namun beliau taat beribadah dan selalu mengikuti kegiatan-kegiatan gereja, bahkan dalam sejarah 28 tahun GBKP Surabaya disebutkan bahwa beliau adalah salah satu yang berjasa dalam pendirian GBKP Surabaya. Dalam karir beliau juga seorang yang berhasil. Dan rahasia keberhasilan beliau dalam karir/pekerjaan yang sering disaksikannya ialah tidak lain karena beliau menerapkan kepemimpinan pelayan yang terinpirasi dari Markus 10:43-45, bagian dari nas renungan kita minggu ini[2].

Pendalaman Nas
Perikop kita (Markus 10:35-45) ada dibawah judul “Permintaan Yohanes dan Yakobus”. Perikop ini terdapat juga dalam Matius 20:20-28. Berbeda dengan Matius, Markus menyebutkan bahwa Yohanes dan Yakobuslah yang meminta kepada Yesus (bukan ibunya sebagaimana di sebutkan dalam Matius[3]) agar diperkenankan duduk dalam Kerajaan Yesus kelak satu disebelah kanan dan satunya disebelah kiri. Mengapa ada perbedan? Menurut William Barclay[4], ini menyangkut diri sipengarang yakni Matius dan Markus. Matius merasa permintaan seperti itu tidak pantas oleh seorang rasul, namun tidak demikian dengan Markus. Markus dengan kesederhanaannya mengatakan apa adanya. Dan melalui kenyataan ini, Markus seolah mau mengatakan bahwa ke 12 murid juga adalah manusia biasa dan yang bisa salah. Dan Tuhan Yesus tidak membuang atau menolak mereka tetapi terus membimbing dan memperlengkapi mereka untuk bersama-sama berkarya mengubah dunia dan Ia berhasil.

Hal itulah yang kita baca dalam perikop kita. Menghadapi murid yang demikian, Yesus tidak serta merta menyalahkan atau memandang rendah. Kalau kita perhatikan dialog Yesus dengan Yohanes dan Yakobus dalam ayat 35-40 terlihat bagaimana cara Yesus mengarahkan muridNya ini untuk tiba pada pemahaman yang benar. Yesus tidak mengtakan: bodoh kepada Yohanes dan Yakobus, tapi dengan sikap seorang guru Yesus mengatakan: “kamu tidak tahu apa yang kamu minta”. Lau Yesus menjelaskan mengenai dua hal. Yang pertama, Kerajaan Yesus bukan di dunia ini dan seperti kerajaan dunia ini. Ungkapan meminum cawan[5] dan dibaptis[6] mau mengingatkan Yohanes dan Yakobus apa yang akan terjadi bagi Yesus. Bahwa Yesus akan mengalami hal yang mengerikan yakni kebencian, derita dan kematian di Kayu salib, namun pada hari ke tiga ia bangkit[7]. Melalui penjelasan ini Yesus mau mengatakan untuk dapat memerintah dalam kerajaanNya kelak ukurannya dan caranya berbeda dengan Kerajaan di dunia ini[8]. Ujiannya ialah mau meminum cawan yang diminum Yesus dan dibaptis dengan baptisan yang diterima Yesus atau tidak. Dengan kata lain mau atau tidak mengalami semua kebencian, derita dan bahkan kematian seperti yang dialami Yesus. Yang ke dua, walaupun mau, sebagaimana Yohanes dan Yakobus menjawab mau (dapat) dalam ayat 39, namun untuk duduk disebelah kanan dan sebelah kiri, Yesus mengatakan bahwa itu hak Bapa saja yang memberikannya. Artinya mereka mungkin dapat menerimanya, tetapi jika mereka layak, bukan karena kesukaan.

Dalam ayat 41 disebutkan: “Mendengar itu kesepuluh murid yang lain menjadi marah kepada Yakobus dan Yohanes”. Tidak disebutkan alasan mereka marah. Namun dapat diduga mereka marah karena dianggap ibarat kampanye Yohanes dan Yakobus “mencuri start” untuk mendapatakan legitimasi dari Yesus menegenai persoalan yang sudah mereka perdebatkan sebelumnya yakni mengenai siapa yang paling besar diantara mereka[9]. Mungkin yang lain marah karena dengan tindakan Yohanes dan Yakubus dianggap akan semakin memecahbelah persekutuan ke 12 murid. Apapun alasannya keadaan ini sesuatu yang serius. Yesus tidak menginginkan perpecahan terjadi di dalam persekutuan murid-murid. Oleh karena itu Yesus memanggil mereka dan menjelaskan mengenai perbedaan standar “kebesaran” duniawi dan kebesaran rohani (Kebesaran dalam Kerajaan dunia dan kebesaran dalam Kerajaan Allah). Dalam hal ini Yesus mengambil contoh perbandingan praktek pemerintah di dunia ini yang sudah diketahui para murid, dimana mereka (rajanya atau pemimpinnya) memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka (menindas mereka). Jadi standarnya adalah kuasa, serta seberapa besar kehendaknya dapat dikenakan kepada berapa banyak orang. Tapi dalam Kerajaan Yesus (kepemimpinan rohani) tidak demikian. Stadarnya adalah pelayanan dan kerendahan hati. Jadi berbeda dengan “kebesaran duniawi”, “kebesaran rohani” diwujudkan bukan dengan mengecilkan orang lain demi melayani kita, melainkan menegecilkan diri kita sendiri demi melayani orang lain. Pembuktiannya bukanlah pelayanan apa yang dapat aku peroleh, melainkan pelayanan apa yang dapat aku berikan. Dan inilah yang telah dipraktekkan oleh Yesus sendiri. Dalam ayat 45 Yesus mengatakan bahwa Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."

Pointer Aplikasi
(1) Hal yang menarik bahwa Kepemimpinan yang melayani juga telah menjadi pemahaman penting dalam praktek kepemimpinan secara umum. Ketika memberi sambutan dalam acara pemberian Penghargaan Citra Pelayanan Prima2008 yang diberikan kepada 80 unit pelayanan publik terbaik di Istana Negara pada tanggal 31 Oktober 2008, Presiden SBY menegaskan bahwa setiap pemimpin hendaknya memberi pelayanan yang terbaik bagi warganya. Bukan sebaliknya, malah minta dilayani[10]. Sangat jelas apa yang dimanta presiden SBY. Bahwa pemimpin itu harus melayani dalam arti melakukan tugas dan tanggungjawabnya sebaik mungkin bagi kepentingan masyarakat. Namun sudahkah demikian pemimpin-pemimpin kita? Dan bagaimana pemimpin-pemimpin yang mengaku atau paling tidak menganggap dirinya sebagai pemimpin kristen, sudahkah menerapkan kepemimpinan yang melayani sebagaimana mengacu kepada kepemimpinan Yesus? Ini adalah suatu tantangan bagi kesaksian setiap pemimpin kristen.
(2) Pemimpin yang melayani berarti kepemimpinan yang menghambakan diri. Identitas pemimpin Kristen adalah sebagai “hamba. Kata “hamba” berasal dari kata servant/slave atau doulos (Yunani), ebed (Ibrani) berarti seorang yang sedang dalam status sebagai pelayan atau budak. Tugasnya adalah mengerjakan pekerjaan menurut kehendak tuannya, tidak ada bantah-bantahan. Suatu sikap penyerahan segala "hak pribadi" secara utuh untuk diatur oleh majikannya. Berarti ia sedang menyangkal dirinya atau tidak berhak lagi atas hak pribadinya. Hak itu sudah melebur/menyatu dengan hak tuannya. Dan Yesus sendiri telah menerapkan kepemimpinan demikian dalam hidupnya (Mrk. 10:45).
(3) Pemimpin yang melayani berarti kepemimpinan yang mendasarkan otoritasnya pada pengorbanan. Yesus mengajarkan bahwa ciri khas dan kebesaran pemimpin spiritual terletak bukan pada posisi dan kuasanya, melainkan pada pengorbanannya. Hanya melalui melayani, seseorang menjadi besar (Mrk. 10:43-44). Pemimpin yang memberi keteladanan dan pengorbanan akan memiliki wibawa spiritual untuk memimpin orang lain.
(4) Pemimpin yang melayani berarti pemimpin yang menempatkan posisinya di bawah kontrol Kristus. Seorang pemimpin Kristen bukan menjadi orang nomor satu dalam gereja, sebab Kristus adalah Kepala Gereja. Ia memimpin namun juga dipimpin oleh Pemimpin Agung, Tuhan Yesus (Yoh. 13:13). Dengan demikian kerendahan hati dalam kepemimpinannya akan riil dalam praktiknya. Dan pemimpin yang demikian juga akan selalu (1) bersikap terbuka dikoreksi oleh siapa saja tanpa merasa tersinggung atau direndahkan, (2) dan mau untuk terus belajar akan kepemimpinan yang lebih baik. Untuk apa? Agar kepemimpin yang dilakukan sesuai dengan kehendak Tuhan dan sungguh memuliakan Tuhan, bukan sebaliknya.

Pondok Gede, 5 Februari 2010
Pdt.S.Brahmana
------------------------------------
[1] Markus 10:45; Matius 20:28
[2] http://www.scribd.com/doc/25338514/Sejarah-GBKP-Surabaya. Akses 5 Februari 2010.
[3] Matius mencatat bahwa Salome (yakni ibu Yohanes dan yakobus-lah) yang meminta kepada Yesus kedudukan itu. Dalam Markus 15:40; Matius 27:56; Yohanes 19:25, Salome adalah saaudara perempuan Maria, Ibu Yesus.
[4] William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari Injil Markus. Jakart: BPK Gunung Mulia, 2003, hal. 419-420
[5] Dalam PL , piala atau cawan bisa berarti kebahagiaan (Mazmur 16:5) dan bisa juga berarti penderitaan (Mazmur 11:6). Dalam renungan kita berarti yang dimaksud penderitaan.
[6] Kata dibaptis (baptizein) disini bisa juga diartikan sebagai arti teknis yakni “masuk ke dalam air”. Bentuk past participle adalah bebaptismenos berarti membenamkan, dan biasanya dipergunakan untuk keadaan “terbenam dalam suatu pengalaman”. Metafora ini sering dipergunakan oleh pemazmur. Misalanya dalam Mazmur 42:8 demikian juga dalam Mazmur 124:4 yang mau menyatakan keadaan yang tidak menyenangkan, keadaan yang bahaya (William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap hari Injil Markus. Jakart: BPK Gunung Mulia, 2003, hal. 422-423).
[7] Bd.ayat 33
[8] Dimana jabatan dapat diperoleh dengan nepotisme dan uang.
[9] Markus 9:33-37
[10]http://www.kilasberita.com/kb-news/kilas-indonesia/9661-sby-pemimpin-harus-melayani-bukan-dilayani.